Jumat, 23 Mei 2014

Membuat Tempat HP Burung Hantu si PILLOW



Membuat Tempat HP Burung Hantu si PILLOW
Bahan-bahan:
1.      Kain flannel warna: biru, kuning, merah dan putih
2.      Kertas asturo untuk menggambar pola
3.      Kancing
4.      Benang sulam warna kuning
5.      Lem
Alat:
1.      Gunting
2.      Pensil
3.      Penggaris
4.      Lem Tembak
5.      Jarum jahit
Langkah membuat:
1.      Buat pola pada kertas asturo yang meliputi badan, sayap, bulu dan mata PILLOW, seperti gambar di bawah ini:

2.      Kemudian potong kain flannel sesuai pola. Untuk badan berwarna biru, bulu berwarna kuning, sayap berwarna merah dan mata PILLOW berwarna putih.

3.      Lem elemen berupa bulu, sayap, dan mata pada badan PILLOW . Jangan lupa tempelkan kancing berwarna hitam pada mata PILLOW.

4.      Setelah bentuk PILLOW sudah jadi , selanjutnya jahit pinggir badan PILLOW dengan menggunakan tusuk feston agar tampilanya cantik. Bagian atas tida usah diikutkan menjahit unsupaya dapat digunakan untuk memasukan hp Anda.

5.      Selanjutnya potong kain flannel warna biru seperti pada gambar dan siapkan kancing sebagai pengait untuk badan PILLOW.

6.      Jahit kancing dibelakang badan PILLOW dan lem kain flannel warna biru tadi di atas mata PILLOW. Setelah selesai jangan lupa lubangi ujung kain flannel supaya dapat dikaitkan dengan kancing.

7.      Sekarang si PILLOW sudah siap melindungi Hp kesayangan Anda……… J J J

8.      Selamat mencoba,,, J

Senin, 19 Mei 2014

Cerpen karyaku : Kado Semu di Hari Ibu



Kado Semu di Hari Ibu

Sang surya sudah tegak diatas kepala, butiran debu bertebaran menambah panasnya siang itu. Waktu terus berputar tepat pukul 13.30, bel pun berbunyi pertanda pelajaran sekolah siang itu telah usai. Hiruk pikuk murid-murid terlihat, bergiliran keluar gerbang. Tampak riang mereka melepas penat sejenak menghilangkan beban yang ada dipikiran yang sudah seharian dipenuhi beberapa mata pelajaran.

            Seperti biasa Fatimah pulang bersama Siti tetangganya dengan mengayuh sepeda mereka masing-masing. Jalan ke desa mereka yang terjal penuh bebatuan kecil selalu mereka lewati bersama dengan penuh kehati-hatian. Meski hanya sepeda tua pemberian Sang Ibu, Fatimah tak mau membawa sepedanya yang sudah berkarat itu ke sekolah. Di sela-sela ayunan kaki, mereka berbincang-bincang.

“Fat, kira-kira lusa kamu member apa untuk ibumu?”. Pertanyaan Siti ke Fatimah.

“Lusa? Memang ada apa Sit. Bukan hari ulang tahun ibumu juga?”. Mengerutkan dahi, bingung.

“Lusa kan Hari Ibu Fat, sebagai anak yang berbakyi tidaka ada salahnya yak an? Kita member sesuatu yang berharga untuknya. Sebagai ungkapan kasih saying kita”. Menatap Fatimah dengan tersenyum.

            Berhenti, sampai di depan rumah Siti. Fatimah pun seketika ikut berhenti.

“Oh ya, baru teringat aku”.

“Untung ada aku yang ngingetin!”. Melirik Fatimah.

“Hehe, makasih atas ingatannya. Kalau aku gak perlu mahal, asal sesuatu itu selalu berkesan buat Ibu. Ya kan!”. Menaikkan alis

“Betul banget!”. Sambil mengajungkan jempolnya.

“Sudah ya, aku mau pulang dulu”. Fatimah kembali mengayuh sepedanya menuju rumahnya.

“Iya, hati-hati di jalan”.

            Setelah pulang sekolah, seperti biasa Fatimah selalu membantu ibunya mencari uang. Setelah kepergian Ayahnya yang merantau setahun yang lalu, kini hati kecilnya tak tega melihat Ibunya mencari nafkah sendiri. Meski tak seberapa hasil keringatnya berjualan gorengan milik Mbok Yun tetangganya, telah sedikit meringankan biaya untuk keperluan sekolah. Tumpukan aneka gorengan sudah tertata rapi di atas nampan ber alas koran. Mbok Yun hanya memanggil Fatimah dan menaruh gorengannya di atas. Fatimah sudah mengerti sendiri waktunya ia untuk jualan. Satu gorengan yang berhasil laku hanya berupa 150 rupiah saja. Tak mengapa, demi sang Ibu, Fatimah ikhlas melakukannya.

“Ndok, ndok Fatimah iki gorengane wes siap!”. Teriak Mbok Yun memanggil Fatimah dengan Logat khas Jawanya.

Jarak rumah keduanya yang tak jauh membuat suara itu terdengar jelas di telinga

Fatimah.

“Enggeh mbok, sebentar!”. Jawab Fatimah yang bergegas ke rumah Mbok Yun untuk mengambil gorengan yang kemudian dijualnya.

...



“Gorengan… Gorengan…. Gorengan…….!”

Teriakan kecil Fatimah memecah sudut-sudut gang rumah warga sekitar tempat tinggalnya. Tak berhenti kata gorengan ia ucapkan sebelum ada pembeli yang datang menghampirinya. Setelah cukup jauh melangkah beberapa orang mulai berdatangan untuk membeli gorengannya.

Mega sudah mulai menguning di ufuk barat. Fatimah rasa jualannya hari ini sudah selesai. Tak banyak gorengan yang laku. Hanya 7.000 rupiah yang dapat ia kantongi untuk hari ini. Uang tersebut sebagian di tabung dan sisanya untuk keperluan sekolah. Setelah mengantarkan sisa gorengan ke rumah Mbok Yun, Fatimah bergegas pulang.

“Assalamu’alaikum”. Salam Fatimah mengagetkan sang Ibu yang sedang duduk di kursi ruang tengah.

“Wa’alaikum salam”. Ibu menjawab salam Fatimah dengan masih sibuk membetulkan mukenanya yang robek.

            Jari-jari kurusnya telaten menjahit satu persatu robekan yang terlihat di mukenanya yang sudah kusam. Sesekali ia menaikkan kaca matanya yang seakan-akan ikut menatap tajam mukena yang kusam itu.

“Kenapa lagi bu mukenanya, sobek lagi?”. Tanya Fatimah sambil meletakkan sebungkus gorengan yang diberi oleh Mbok Yun tadi di meja.

“Iya nih nak, sedikit sobek di bagian lehernya”.

“Ibu pengen punya mukena baru?”. Tanya Fatimah dan menatap ibunya sambil melihat sobekan yang ada di mukena sang Ibu.

“Kalau di bilang pengen ya pasti pengen lah nak. Tapi mau gimana lagi, buat makan saja susah apalagi buat beli mukena. Yang penting mukena ini masih bisa Ibu pakai untuk selalu mengingat Allah”. Jawab sang Ibu lirih.



            Fatimah hanya terdiam tak mampu berucap. Perasaan amat sedih melanda hatinya, air mata seakan tak tahan bercucuran melihat sang Ibu yang begitu ingin mempunyai mukena baru. Setidaknya untuk berhadapan dengan Tuhan kita hendaknya menggunakan pakaian yang lebih baik. Mungkin itulah keinginan sang Ibu.

“Bu, Fatimah masuk ke kamar dulu ya”. Sambil meletakkan mukenannya kembali di pangkuan sang Ibu. Dan langsung masuk ke kamar sempitnya. Fatimah tak mampu menatap Ibunya terlalu lama.

            Di dalam kamar Fatimah hanya bisa merenung memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk sang Ibu.

“Oh … iya . lusa kan hari ibu. Gimana kalau aku ngasih mukena baru untuk Ibu. Kasihan ibu, setiap ibadahnya harus diitemani dengan mukena yang sudah kusam itu. Mungkin tabunganku cukup untuk membelinya”. Ujar Fatimah dalam hati sambil melirik celengan ayamnya yang duduk manis di atas lemari.

            Fatimah berjalan pelan mendekati celengannya. Tangan kanannya mencoba menggaetnya yang berada di atas alamari itu. Di pegangnya celengan yang penuh debu dan using itu. Di tiup perlahan debu yang menempel di badan celengan. Fatimah masih berpikir dua kali, apa dia harus melunasi tunggaan sekolah itu dengan tabungannya atau kah membelikan mukena baru sebagai kado hari Ibu. SPP mungkin bisa di bayar lain waktu, tapi melihat Ibu yang pengen sekali punya mukena baru itulah yang terpenting saat ini.

“Piiiaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrr………!”.

            Keputusan Fatimah sudah bulat untuk memecah celengan malam itu. Dihitungnya lembar demi lembar uang yang berserakan di lantai yang masih beralaskan tanah. Dikumpulkannya juga koin-koin 500-an sampai tak ada sepeser pun yang tertinggal. 100ribu ia dapatkan . lumayan untuk sekedar membeli mukena. Fatimah langsung mebersihkan pecahan keramik celengannya. Agar Ibu tak mengetahui kalau Fatimah mengambil tabungannya.


            Esok sudah tiba, menyapa dunia dengan sinar mentari yang masih sedikit malu-malu menampakkan diri di balik gunung di Desa itu. Kesibukan masyarakat sekitar sudah terasa, berlalu lalang mencari kesibukan sendiri. Ada yang berladang, dan tak sedikit juga ada yang berkeinginan kepasar untuk berdagang.

            Hari ini Fatimah libur sekolah. Kesempatannya untuk membeli mukena buat sang Ibu. Jarum-jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.30. sudah ada janji dengan Siti untuk pergi ke pasar bersama. Fatimah sudah tampil rapi dengan jilbab merahnya. Tak lupa ia mengelap sepedanya terlebih dahulu yang tadi malam terguyur derasnya hujan.

            Fatimah bergegas mengayun sepedanya ke rumah Siti, dengan membawa tas kecilnya.

“Kring-kring…! Siti…!”. Panggil Fatimah sambil menekan bel sepedanya.

“Iya, tunggu sebentar!”. Jawab Siti sambil mendorong sepedanya keluar.

            Keduanya mulai mengayuh sepeda mereka menuju pasar yang rerletak di ujung desa.

            Sesampai di pasar keramaian sudah amat terasa. Keduanya berjalan pelan menuju took pakaian. Lalu lalang pembeli terlihat di setiap sudut jalan. Teriakan pedagang begitu terdengar bersautan. Jalan becek akibat guyuran hujan semalam tak menyurutkan keduanya untuk terus melangkah.

“Siti…….!”.

            Panggilan itu memperhentikan keduanya. Mereka melihat kea rah selatan, arah datangnya suara itu. Terlihat wanita parubaya berdiri di depan warung kecil di pinggir jalan. Tangan kanannya melambai ke arah Siti dan Fatimah.

“Siapa sit?”. Tanya Fatimah sambil meraih tangan Siti yang mulai berjalan ke warung itu.

“Oh, itu Budhe Tum. Budhe saya yang berjualan rujak. Sudah lama aku tak bertemu dengannya, tidak apa-apakan aku menemuinya sebentar”. Sambl melihat Fatimah.

            Fatimah hanya menganggukkan kepalanya, tanda ia tak keberatan.

“Ada apa budhe, sudah lama aku tak melihat budhe, ternyata budhe jualan rujak disini?”. Tanya siti kepada budhenya.

“Iyo ndok, sini nyicip dulu rujaknya budhe. Temanmu juga di ajak masuk.” Jawab budhe Tum.

“Maaf budhe, kita mau beli sesuatu. Keburu siang nanti kalau mampir dahulu”. Ujar Siti.

“Oh… begitu, ya tidak apa-apa. Salam aja buat Ibu ntar di rumah”. Sapa Budhe Tum.

“Kapan-kapan ya budhe kita mampir”. Jawab Siti dengan tersenyum.

            Keduanya pun melanjutkan rencananya untuk pergi ke toko pakaian.

“Rencana mau beli apa Fat?”. Tanya siti pada Fatimah.

“Em, rahasia dulu. Nanti juga pasti sendiri. Tapi kalau kamu mau beli apa?”. Ujar Fatimah tersenyum.

“Aku ngajak kamu ke toko pakaian pasti mau beli baju lah. Aku pengen ngebeliin baju kebaya buat Ibu untuk di acara pernikahan saudara iparku besok”. Jawab siti dengan tegas.

            Toko di sebelah paling barat menjadi tujuan mereka. Di tempat ini tak hanya pakaian saj yang di perjualkan melainkan ada peralatan ibadah juga. Sekalian Fatimah membeli mukena di Toko itu. Tak perlu bagus-bagus amat yang di inginkan Fatimah, yang terpenting sudah terlihat indah jika nanti di pakai Ibunya. Dia juga menyesuaikan dengan kantongnya yang tak begitu tebal.

            Setelah memakan waktu cukup lama. Dalam tawar-menawar. Keduanya pun beranjak pulang dengan membawa barang yang sudah mereka beli. Terlihat keduanya sangat bahagia.


“Fat… fat… !”. suara itu memanggil Fatimah yang baru pulang dari pasar.

“Fatimah…!”. Semakin keras suara itu memanggil.

            Terlihat seorang ibu yang membawa rantang belanjaan dengan penuh sayuran dan bahan masakan lainnya. Ibu itu yang memanggil Fatimah.

“Iya, ada apa bu?”. Tanya Fatimah pada ibu tersebut.

“Kemana saja kamu nak, Ibu mu tadi tuh pingsan pas mau belanja sayur, tapi kayaknya sudah siuman di rumah. Tadi ibu-ibu yang mengantar ibumu pulang”. Jawab tegas Ibu itu.

“Astaghfirullah, be..be..neran bu. Makasih bu saya mau pulang dulu untuk menemui ibu. Pe… permisi!”. Ujar Fatimah gugup.

            Apa yang di lakukan Fatimah tadi mungkin sudah menyiksa hatinya sendiri sekarang, meninggalkan Ibu yang sedang sakit seharusnya tak pantas dia lakukan. Rentetan kata-kata maaf pada ibunya kini bertumpuk di pikirannya. Mungkin dia tak berpikir kalau kejadiannya akan begini.

            Terik sang mentari mulai memijar di atas langit. Genangan air hujan sudah menggiring. Menambah panas yang meresap dalam jiwa. Hati gelisah menunggu kabar sang Bunda. Bertambah sakit mendorong air mata jatuh mebasahi pipi. Keringat mulai membasahi baju putih Fatimah. Dia menatap tajam setiap jalanan menuju kerumahnya. Sepi tak ada orang, ayunan langkahnya mendorong cepat sepeda tuanya. Fatimah terlihat sangat terburu-buru untuk segera bertemu sang Ibu.

“Ibu……!”. Teriakan Fatimah dari luar rumah yang sudah cemas memikirkan ibunya.

            Terlihat sang ibu berbaring lemah di ranjang tidurnya. Kain jarik menjadi selimut penangkal dinginnya suasana.

“Ibu… Maafin Fatimah. Fatimah salah telah ninggalin ibu di rumah sendirian”. Tangisan Fatimah sambil memeluk ibunya yang sedang terlelap tidur hingga terbangun.

“Oni opo tho ndok? Ibu gak kenapa-kenapa”. Jawab sang ibu.

“Tadi bu RT bilang katanya ibu pingsan”. Ujar Fatimah lirih.

“Enggak apa-apa ndok. Wong ibu Cuma kecapean saja butuh istirahat sejenak mungkin. Wes-wes ojo nangis”. Jawab sang ibu sambil mengelus kepala Fatimah.

“Tapi seharusnya Fatimah tak meninggalkan ibu sendirian di rumah”. Kata Fatimah sambil memeluk erat tubuh ibunya yang lemas itu.

            Suara adzan Dhuhur yang merdu menenangkan suasana yang tadinya syahdu. Fatimah menghentikan tangisannya, menghapus sisa air mata yang membasahi wajah nya. Beranjak bangun dari pelukan sang ibu.

“Heeem.. sudah Dhuhur. Ibu mau sholat dulu. Yuk sekalian sholat sama ibu”. Ajakan ibu kepada Fatimah.

“Ibu saja dulu, Fatimah mau mandi. Sudah bau apek nih badan”. Jawab Fatimah sambil mencium bajunya.

            Air suci wudlu telah membasahi wajah sang ibu. Ibu bergegas menuju kamarnya kembali untuk menunaikan sholah Dhuhur. Mukena yang kusam miliknya sudah tak terlihat di atas kasur melainkan sudah terganti dengan mukena yang begitu putih bersih yang terlipat rapi. Rupanya itu adalah mukena pemberian Fatimah terhadap ibunya.

“Fatimmm….!”. Teriakan ibu memanggil Fatimah keras.

“Ya, bu ada apa?”. Tanya Fatimah kepada ibunya.

“Mukena siapa ini nak, punyamu?”. Jawab sang ibu.

“Enggak kok bu, itu mukena buat ibu. Fatimah sengaja tadi membelinya untuk ibu pakai buat sholat”. Ujar Fatimah sambil tersenyum menatap ibunya.

“Terimaksih sayang, mukena ini bagus sekali . Tapi mungkin ini adalah mukena terakhir buat ibu”. Ujar ibu kepada Fatimah dengan sangat lirih.

“Ibu… ibu ngomong apa sih, kenapa ibu ngomong seperti itu? Udah ibu gak usah ngomong yang aneh-aneh. Ibu sholat aja dulu, Fatimah mau mandi”. Jawab Fatimah tegas.

            Selesai mandi Fatimah mengintip ibunya yang sedang sholat di belakang selambu kamar ibu. Terlihat sang ibu masih bersujud dalam sholatnya. Fatimah berjalan tenang dan tak ingin mengusik kekhusuk an ibunya yang sedang sholat. Ia duduk di atas ranjang di belakang ibu sambil menunggu giliran sholat.

            Detik berlalu, menit berlalu hingga beberapa menit, sang ibu tak kunjung juga beranjak dari sujudnya. Perasaan cemas sudah menyelimuti jiwanya. Tak selama ini sujud dalam sholat fardlu. Hati gusar sudah mengusik . Apa yang terjadi terhadap ibu, fatimah pun dengan pelan mendekati ibunya.

Ibu, ibu, ibu….”. Di pangginlnya sampai berulang kali. Sang ibu tak juga bangun.

Ibuu….!”. mencoba memanggilnya, tapi apa ibu tetap tidak menjawabnya.

            Dibaliknya sang ibu dalam pangkuan Fatimah. Ia mencoba merasakan detak nadi di tangan kanan ibunya. Innalillahi, getaran itu sudah tak terasa lagi sang ibu sudah pergi selamanya.

            Fatimah hanya bisa menangisi kepergian ibunya. Di peluknya sang ibu sambil memanggil-manggil namanya “Ibu, jangan tinggalin aku” begitulah ucapan Fatimah berulang kali. Air mata yang menetes seakan mengalahkan derasnya hujan. Duka itu menyapa Fatimah.

            Dunia seakan, redup ikut berduka, suasana begitu sunyi dan sepi. Hari-hari Fatimah kini menjadi semu. Tak ada lagi senyum sang ibu, perhatian sang ibu, kasih sayang sang ibu yang Fatimah rasakan saat ini. Begitu banyak kenangan indah bersamanya yang sulit terlupakan. Tuhan mengambilnya ketika beliau bersujud kepada-Nya. Takdir tak dapat di lawan, Fatimah hanya bisa mencoba ikhlas dan tabah. Ini semua sudah rencana Tuhan. Mukena itu bukan harapan tetapi melainkan menjadi kenangan.


Minggu, 11 Mei 2014

Souvenir dari kain flanel yang cantik bisa anda buat sendiri lhoh :) . Bahan yang mudah ditemukan dan gampang untuk membuatnya , mungkin anda sendiri bisa mencobanya. Mulai dari bros, gantunan kunci, boneka lucu dll.