Kado Semu di Hari Ibu
Sang surya sudah tegak diatas kepala, butiran debu
bertebaran menambah panasnya siang itu. Waktu terus berputar tepat pukul 13.30,
bel pun berbunyi pertanda pelajaran sekolah siang itu telah usai. Hiruk pikuk
murid-murid terlihat, bergiliran keluar gerbang. Tampak riang mereka melepas
penat sejenak menghilangkan beban yang ada dipikiran yang sudah seharian
dipenuhi beberapa mata pelajaran.
Seperti
biasa Fatimah pulang bersama Siti tetangganya dengan mengayuh sepeda mereka
masing-masing. Jalan ke desa mereka yang terjal penuh bebatuan kecil selalu
mereka lewati bersama dengan penuh kehati-hatian. Meski hanya sepeda tua
pemberian Sang Ibu, Fatimah tak mau membawa sepedanya yang sudah berkarat itu
ke sekolah. Di sela-sela ayunan kaki, mereka berbincang-bincang.
“Fat, kira-kira lusa kamu member apa untuk ibumu?”.
Pertanyaan Siti ke Fatimah.
“Lusa? Memang ada apa Sit. Bukan hari ulang tahun
ibumu juga?”. Mengerutkan dahi, bingung.
“Lusa kan Hari Ibu Fat, sebagai anak yang berbakyi
tidaka ada salahnya yak an? Kita member sesuatu yang berharga untuknya. Sebagai
ungkapan kasih saying kita”. Menatap Fatimah dengan tersenyum.
Berhenti,
sampai di depan rumah Siti. Fatimah pun seketika ikut berhenti.
“Oh ya, baru teringat aku”.
“Untung ada aku yang ngingetin!”. Melirik Fatimah.
“Hehe, makasih atas ingatannya. Kalau aku gak perlu
mahal, asal sesuatu itu selalu berkesan buat Ibu. Ya kan!”. Menaikkan alis
“Betul banget!”. Sambil mengajungkan jempolnya.
“Sudah ya, aku mau pulang dulu”. Fatimah kembali
mengayuh sepedanya menuju rumahnya.
“Iya, hati-hati di jalan”.
Setelah
pulang sekolah, seperti biasa Fatimah selalu membantu ibunya mencari uang.
Setelah kepergian Ayahnya yang merantau setahun yang lalu, kini hati kecilnya
tak tega melihat Ibunya mencari nafkah sendiri. Meski tak seberapa hasil
keringatnya berjualan gorengan milik Mbok Yun tetangganya, telah sedikit
meringankan biaya untuk keperluan sekolah. Tumpukan aneka gorengan sudah
tertata rapi di atas nampan ber alas koran. Mbok Yun hanya memanggil Fatimah
dan menaruh gorengannya di atas. Fatimah sudah mengerti sendiri waktunya ia
untuk jualan. Satu gorengan yang berhasil laku hanya berupa 150 rupiah saja.
Tak mengapa, demi sang Ibu, Fatimah ikhlas melakukannya.
“Ndok, ndok Fatimah iki gorengane wes siap!”. Teriak
Mbok Yun memanggil Fatimah dengan Logat khas Jawanya.
Jarak rumah keduanya
yang tak jauh membuat suara itu terdengar jelas di telinga
Fatimah.
“Enggeh mbok, sebentar!”. Jawab Fatimah yang
bergegas ke rumah Mbok Yun untuk mengambil gorengan yang kemudian dijualnya.
...
“Gorengan… Gorengan…. Gorengan…….!”
Teriakan kecil Fatimah memecah sudut-sudut gang
rumah warga sekitar tempat tinggalnya. Tak berhenti kata gorengan ia ucapkan
sebelum ada pembeli yang datang menghampirinya. Setelah cukup jauh melangkah
beberapa orang mulai berdatangan untuk membeli gorengannya.
Mega sudah mulai menguning di ufuk barat. Fatimah
rasa jualannya hari ini sudah selesai. Tak banyak gorengan yang laku. Hanya
7.000 rupiah yang dapat ia kantongi untuk hari ini. Uang tersebut sebagian di
tabung dan sisanya untuk keperluan sekolah. Setelah mengantarkan sisa gorengan
ke rumah Mbok Yun, Fatimah bergegas pulang.
“Assalamu’alaikum”. Salam Fatimah mengagetkan sang
Ibu yang sedang duduk di kursi ruang tengah.
“Wa’alaikum salam”. Ibu menjawab salam Fatimah
dengan masih sibuk membetulkan mukenanya yang robek.
Jari-jari
kurusnya telaten menjahit satu persatu robekan yang terlihat di mukenanya yang
sudah kusam. Sesekali ia menaikkan kaca matanya yang seakan-akan ikut menatap tajam
mukena yang kusam itu.
“Kenapa lagi bu mukenanya, sobek lagi?”. Tanya
Fatimah sambil meletakkan sebungkus gorengan yang diberi oleh Mbok Yun tadi di
meja.
“Iya nih nak, sedikit sobek di bagian lehernya”.
“Ibu pengen punya mukena baru?”. Tanya Fatimah dan
menatap ibunya sambil melihat sobekan yang ada di mukena sang Ibu.
“Kalau di bilang pengen ya pasti pengen lah nak.
Tapi mau gimana lagi, buat makan saja susah apalagi buat beli mukena. Yang
penting mukena ini masih bisa Ibu pakai untuk selalu mengingat Allah”. Jawab
sang Ibu lirih.
Fatimah
hanya terdiam tak mampu berucap. Perasaan amat sedih melanda hatinya, air mata
seakan tak tahan bercucuran melihat sang Ibu yang begitu ingin mempunyai mukena
baru. Setidaknya untuk berhadapan dengan Tuhan kita hendaknya menggunakan
pakaian yang lebih baik. Mungkin itulah keinginan sang Ibu.
“Bu, Fatimah masuk ke kamar dulu ya”. Sambil
meletakkan mukenannya kembali di pangkuan sang Ibu. Dan langsung masuk ke kamar
sempitnya. Fatimah tak mampu menatap Ibunya terlalu lama.
Di
dalam kamar Fatimah hanya bisa merenung memikirkan apa yang harus ia lakukan
untuk sang Ibu.
“Oh … iya . lusa kan hari ibu. Gimana kalau aku
ngasih mukena baru untuk Ibu. Kasihan ibu, setiap ibadahnya harus diitemani
dengan mukena yang sudah kusam itu. Mungkin tabunganku cukup untuk membelinya”.
Ujar Fatimah dalam hati sambil melirik celengan ayamnya yang duduk manis di
atas lemari.
Fatimah
berjalan pelan mendekati celengannya. Tangan kanannya mencoba menggaetnya yang
berada di atas alamari itu. Di pegangnya celengan yang penuh debu dan using
itu. Di tiup perlahan debu yang menempel di badan celengan. Fatimah masih
berpikir dua kali, apa dia harus melunasi tunggaan sekolah itu dengan
tabungannya atau kah membelikan mukena baru sebagai kado hari Ibu. SPP mungkin
bisa di bayar lain waktu, tapi melihat Ibu yang pengen sekali punya mukena baru
itulah yang terpenting saat ini.
“Piiiaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrr………!”.
Keputusan
Fatimah sudah bulat untuk memecah celengan malam itu. Dihitungnya lembar demi
lembar uang yang berserakan di lantai yang masih beralaskan tanah.
Dikumpulkannya juga koin-koin 500-an sampai tak ada sepeser pun yang
tertinggal. 100ribu ia dapatkan . lumayan untuk sekedar membeli mukena. Fatimah
langsung mebersihkan pecahan keramik celengannya. Agar Ibu tak mengetahui kalau
Fatimah mengambil tabungannya.
…
Esok
sudah tiba, menyapa dunia dengan sinar mentari yang masih sedikit malu-malu
menampakkan diri di balik gunung di Desa itu. Kesibukan masyarakat sekitar
sudah terasa, berlalu lalang mencari kesibukan sendiri. Ada yang berladang, dan
tak sedikit juga ada yang berkeinginan kepasar untuk berdagang.
Hari
ini Fatimah libur sekolah. Kesempatannya untuk membeli mukena buat sang Ibu.
Jarum-jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.30. sudah ada janji dengan Siti
untuk pergi ke pasar bersama. Fatimah sudah tampil rapi dengan jilbab merahnya.
Tak lupa ia mengelap sepedanya terlebih dahulu yang tadi malam terguyur
derasnya hujan.
Fatimah
bergegas mengayun sepedanya ke rumah Siti, dengan membawa tas kecilnya.
“Kring-kring…! Siti…!”. Panggil Fatimah sambil
menekan bel sepedanya.
“Iya, tunggu sebentar!”. Jawab Siti sambil mendorong
sepedanya keluar.
Keduanya
mulai mengayuh sepeda mereka menuju pasar yang rerletak di ujung desa.
Sesampai
di pasar keramaian sudah amat terasa. Keduanya berjalan pelan menuju took
pakaian. Lalu lalang pembeli terlihat di setiap sudut jalan. Teriakan pedagang
begitu terdengar bersautan. Jalan becek akibat guyuran hujan semalam tak
menyurutkan keduanya untuk terus melangkah.
“Siti…….!”.
Panggilan
itu memperhentikan keduanya. Mereka melihat kea rah selatan, arah datangnya
suara itu. Terlihat wanita parubaya berdiri di depan warung kecil di pinggir
jalan. Tangan kanannya melambai ke arah Siti dan Fatimah.
“Siapa sit?”. Tanya Fatimah sambil meraih tangan
Siti yang mulai berjalan ke warung itu.
“Oh, itu Budhe Tum. Budhe saya yang berjualan rujak.
Sudah lama aku tak bertemu dengannya, tidak apa-apakan aku menemuinya
sebentar”. Sambl melihat Fatimah.
Fatimah
hanya menganggukkan kepalanya, tanda ia tak keberatan.
“Ada apa budhe, sudah lama aku tak melihat budhe,
ternyata budhe jualan rujak disini?”. Tanya siti kepada budhenya.
“Iyo ndok, sini nyicip dulu rujaknya budhe. Temanmu
juga di ajak masuk.” Jawab budhe Tum.
“Maaf budhe, kita mau beli sesuatu. Keburu siang
nanti kalau mampir dahulu”. Ujar Siti.
“Oh… begitu, ya tidak apa-apa. Salam aja buat Ibu
ntar di rumah”. Sapa Budhe Tum.
“Kapan-kapan ya budhe kita mampir”. Jawab Siti
dengan tersenyum.
Keduanya
pun melanjutkan rencananya untuk pergi ke toko pakaian.
“Rencana mau beli apa Fat?”. Tanya siti pada
Fatimah.
“Em, rahasia dulu. Nanti juga pasti sendiri. Tapi
kalau kamu mau beli apa?”. Ujar Fatimah tersenyum.
“Aku ngajak kamu ke toko pakaian pasti mau beli baju
lah. Aku pengen ngebeliin baju kebaya buat Ibu untuk di acara pernikahan
saudara iparku besok”. Jawab siti dengan tegas.
Toko
di sebelah paling barat menjadi tujuan mereka. Di tempat ini tak hanya pakaian
saj yang di perjualkan melainkan ada peralatan ibadah juga. Sekalian Fatimah
membeli mukena di Toko itu. Tak perlu bagus-bagus amat yang di inginkan
Fatimah, yang terpenting sudah terlihat indah jika nanti di pakai Ibunya. Dia
juga menyesuaikan dengan kantongnya yang tak begitu tebal.
Setelah
memakan waktu cukup lama. Dalam tawar-menawar. Keduanya pun beranjak pulang
dengan membawa barang yang sudah mereka beli. Terlihat keduanya sangat bahagia.
…
“Fat… fat… !”. suara itu memanggil Fatimah yang baru
pulang dari pasar.
“Fatimah…!”. Semakin keras suara itu memanggil.
Terlihat
seorang ibu yang membawa rantang belanjaan dengan penuh sayuran dan bahan
masakan lainnya. Ibu itu yang memanggil Fatimah.
“Iya, ada apa bu?”. Tanya Fatimah pada ibu tersebut.
“Kemana saja kamu nak, Ibu mu tadi tuh pingsan pas
mau belanja sayur, tapi kayaknya sudah siuman di rumah. Tadi ibu-ibu yang
mengantar ibumu pulang”. Jawab tegas Ibu itu.
“Astaghfirullah, be..be..neran bu. Makasih bu saya
mau pulang dulu untuk menemui ibu. Pe… permisi!”. Ujar Fatimah gugup.
Apa
yang di lakukan Fatimah tadi mungkin sudah menyiksa hatinya sendiri sekarang,
meninggalkan Ibu yang sedang sakit seharusnya tak pantas dia lakukan. Rentetan
kata-kata maaf pada ibunya kini bertumpuk di pikirannya. Mungkin dia tak
berpikir kalau kejadiannya akan begini.
Terik
sang mentari mulai memijar di atas langit. Genangan air hujan sudah menggiring.
Menambah panas yang meresap dalam jiwa. Hati gelisah menunggu kabar sang Bunda.
Bertambah sakit mendorong air mata jatuh mebasahi pipi. Keringat mulai
membasahi baju putih Fatimah. Dia menatap tajam setiap jalanan menuju
kerumahnya. Sepi tak ada orang, ayunan langkahnya mendorong cepat sepeda
tuanya. Fatimah terlihat sangat terburu-buru untuk segera bertemu sang Ibu.
“Ibu……!”. Teriakan Fatimah dari luar rumah yang
sudah cemas memikirkan ibunya.
Terlihat
sang ibu berbaring lemah di ranjang tidurnya. Kain jarik menjadi selimut
penangkal dinginnya suasana.
“Ibu… Maafin Fatimah. Fatimah salah telah ninggalin
ibu di rumah sendirian”. Tangisan Fatimah sambil memeluk ibunya yang sedang
terlelap tidur hingga terbangun.
“Oni opo tho ndok? Ibu gak kenapa-kenapa”. Jawab
sang ibu.
“Tadi bu RT bilang katanya ibu pingsan”. Ujar
Fatimah lirih.
“Enggak apa-apa ndok. Wong ibu Cuma kecapean saja
butuh istirahat sejenak mungkin. Wes-wes ojo nangis”. Jawab sang ibu sambil
mengelus kepala Fatimah.
“Tapi seharusnya Fatimah tak meninggalkan ibu
sendirian di rumah”. Kata Fatimah sambil memeluk erat tubuh ibunya yang lemas
itu.
Suara
adzan Dhuhur yang merdu menenangkan suasana yang tadinya syahdu. Fatimah
menghentikan tangisannya, menghapus sisa air mata yang membasahi wajah nya.
Beranjak bangun dari pelukan sang ibu.
“Heeem.. sudah Dhuhur. Ibu mau sholat dulu. Yuk
sekalian sholat sama ibu”. Ajakan ibu kepada Fatimah.
“Ibu saja dulu, Fatimah mau mandi. Sudah bau apek nih
badan”. Jawab Fatimah sambil mencium bajunya.
Air
suci wudlu telah membasahi wajah sang ibu. Ibu bergegas menuju kamarnya kembali
untuk menunaikan sholah Dhuhur. Mukena yang kusam miliknya sudah tak terlihat
di atas kasur melainkan sudah terganti dengan mukena yang begitu putih bersih
yang terlipat rapi. Rupanya itu adalah mukena pemberian Fatimah terhadap
ibunya.
“Fatimmm….!”. Teriakan ibu memanggil Fatimah keras.
“Ya, bu ada apa?”. Tanya Fatimah kepada ibunya.
“Mukena siapa ini nak, punyamu?”. Jawab sang ibu.
“Enggak kok bu, itu mukena buat ibu. Fatimah sengaja
tadi membelinya untuk ibu pakai buat sholat”. Ujar Fatimah sambil tersenyum
menatap ibunya.
“Terimaksih sayang, mukena ini bagus sekali . Tapi
mungkin ini adalah mukena terakhir buat ibu”. Ujar ibu kepada Fatimah dengan
sangat lirih.
“Ibu… ibu ngomong apa sih, kenapa ibu ngomong
seperti itu? Udah ibu gak usah ngomong yang aneh-aneh. Ibu sholat aja dulu,
Fatimah mau mandi”. Jawab Fatimah tegas.
Selesai
mandi Fatimah mengintip ibunya yang sedang sholat di belakang selambu kamar
ibu. Terlihat sang ibu masih bersujud dalam sholatnya. Fatimah berjalan tenang
dan tak ingin mengusik kekhusuk an ibunya yang sedang sholat. Ia duduk di atas
ranjang di belakang ibu sambil menunggu giliran sholat.
Detik
berlalu, menit berlalu hingga beberapa menit, sang ibu tak kunjung juga
beranjak dari sujudnya. Perasaan cemas sudah menyelimuti jiwanya. Tak selama
ini sujud dalam sholat fardlu. Hati gusar sudah mengusik . Apa yang terjadi
terhadap ibu, fatimah pun dengan pelan mendekati ibunya.
Ibu, ibu, ibu….”. Di pangginlnya sampai berulang
kali. Sang ibu tak juga bangun.
Ibuu….!”. mencoba memanggilnya, tapi apa ibu tetap
tidak menjawabnya.
Dibaliknya
sang ibu dalam pangkuan Fatimah. Ia mencoba merasakan detak nadi di tangan
kanan ibunya. Innalillahi, getaran itu sudah tak terasa lagi sang ibu sudah
pergi selamanya.
Fatimah
hanya bisa menangisi kepergian ibunya. Di peluknya sang ibu sambil
memanggil-manggil namanya “Ibu, jangan tinggalin aku” begitulah ucapan Fatimah
berulang kali. Air mata yang menetes seakan mengalahkan derasnya hujan. Duka
itu menyapa Fatimah.
Dunia
seakan, redup ikut berduka, suasana begitu sunyi dan sepi. Hari-hari Fatimah
kini menjadi semu. Tak ada lagi senyum sang ibu, perhatian sang ibu, kasih sayang
sang ibu yang Fatimah rasakan saat ini. Begitu banyak kenangan indah bersamanya
yang sulit terlupakan. Tuhan mengambilnya ketika beliau bersujud kepada-Nya.
Takdir tak dapat di lawan, Fatimah hanya bisa mencoba ikhlas dan tabah. Ini
semua sudah rencana Tuhan. Mukena itu bukan harapan tetapi melainkan menjadi
kenangan.